Tradisi Warga Tionghoa Rayakan Tuan U Ciek

by Muhammad Reza
IMG_20150620_134446

Ribuan Warga Tionghoa melakukan mandi Pehcun di Sungai Kapuas

Pontianak, MK – Sabtu (20/6), warga Tionghoa merayakan tradisi Tuan U Ciek dengan mandi di sungai Kapuas yang dilanjutkan dengan makan bakcang bersama keluarga. Tradisi mandi Pehcun ini, dipercaya dapat membawa berkah dan keselamatan.

Setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek, ketika matahari tepat diatas kepala, pinggiran sungai Kapuas tepatnya di pasar Kapuas Besar dan pasar Siantan Pontianak, akan dipenuhi oleh warga Tionghoa. Tak terkecuali tahun ini yang bertepatan dengan bulan puasa umat Muslim. Mereka tetap gembira merayakan tradisi ini di sungai tersebut. Sebagian dari mereka akan mengambil air wu shi dan menuimpan air tersebut dalam botol untuk dipakai sewaktu-waktu sebagai obat.

Menurut Budayawan Tionghoa asal Kalbar, XF Asali, dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa tradisional, mandi disaat wu shi ( waktu antara pukul 11 hingga pukul 1 siang, red) di sungai, akan membawa berkah dan keselamatan bagi yang melakukannya.

“Dengan mandi-mandi, segala sifat buruk dan tabiat yang tidak baik, biar dihanyutkan mengikuti derasnya arus air yang mengalir. Intinya, saat ini lita introspeksi, sehingga dapat memperbaiki diri menjadi manusia yang jauh dari malapetaka,” jelasnya.

Sementara itu, lanjutnya, kaum wanita akan mempersiapkan masakan untuk makan besar (ko ciat). Masakan untuk ko ciat ini terdiri dari masakan daging ayam, daging babi, daging bebek dan ciu (arak). Selain itu, yang spesial dan wajib ada dalam tradisi Tuan U Ciek adalah penganan bakcang.

Penganan yang terbuat dari beras ketan ini, berisi cincangan daging babi, kacang tanah, jamur dan kau lat (semacam kenari,red). Umumnya bakcang dibungkus dengan daun bambu kering dan diikat dengan tali rafia membentuk kerucut. Sedangkan untuk vegetarian, ada ki cang yang ukurannya lebih kecil dan tanpa isi. Penganan ki cang terasa lebih kenyal dan berwarna kekuning-kuningan dan biasanya dimakan dengan gula pasir atau gula merah yang dilumerkan.

“Dulunya bakcang dan kicang dibungkus dengan daun bambu yang diikat dengan tali khiam ciau (tali pengikat yang dibuat dari pandan-pandanan air yang tumbuh di rawa, red). Tapi sekarang, lebih banyak yang hanya membungkus dengan daun pisang dan diikat dengan tali rafia. Sedangkan bentuknya tetap kerucut yang butuh keahlian untuk mengikatnya agar tidak pecah saat direbus,” jelas pemilik nama Tionghoa, Lie Sau Fat ini.

Jpeg

Bakcang

Tjan A Hiang, seorang ibu yang menjual bakcang untuk dijual mengatakan, sangat sulit untuk mendapatkan daun bambu yang besar. Lantaran bakcang yang dijualnya berukuran lebih besar dari biasanya, ia terpaksa harus menggantinya dengan daun pisang.

“Kebanyakan daun bambu yang dijual dipasar, kecil dan tidak lebar. Jadi saya ganti jadi daun pisang. Rasanya sama saja,” ujar A Hiang yang sudah berjualan bakcang lebih dari 30 tahun.

Meski menjual bakcang berukuran besar yang dihargai cukup mahal, bakcang A Hiang selalu habis. Bahkan ia sampai harus menerima pesanan.

“Pesanan lumayan banyak. Saya buatnya malam-malam. Kadang subuh baru selesai. Soalnya rebusnya lama, lebih dari 1 jam. Kebanyakan yang pesan itu, malas buat karna lama atau karna tidak bisa mengikatnya,” ucapnya.(Lyn)

.

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.