Korupsi
Pada Jajaran Pemerintah Daerah, Pencegahan Dan Pemberantasannya
Oleh : DR. Alex Chandra, SH, SE, M.Hum
Dosen STIH Awanglong-Samarinda-Kalimantan Timur
- Korupsi sebagai extraordinary crimes pada pemerintah daerah terutama pada DPRD kota/kabupaten.
Persoalan korupsi di Indonesia sampai dengan sekarang masih menjadi perhatian utama bagi masyarakat di era reformasi ini yang menghendaki agar korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Yang bersifat sistemik ini dapat di berantas sampai keakar-akarnya dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya tidak pandang bulu kepada siapa saja yaitu bukan hanya kepada para koruptor kelas teri saja tetapi juga kepada para koruptor kelas kakap.
Pendapat beberapa pakar hukum melihat persoalan korupsi di Indonesia antara lain menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH bahwa persoalan korupsi di tinjau dari segi bentuknya di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
- Material corruption, yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang);
- Political opinion, perbuatan memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara lembaga legislative atau pada keputusan yang bersifat administratif, janji jabatan dan sebagainya;
- Intellectual corruption, yang memanipulasikan ilmu penegetahuan dengan cara yang tidak sebenarnya (berbeda dengan kenyataan yang ada atau berbeda dengan yang seharusnya) yang biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya.
Menurut Prof . Dr. Achmad Ali SH, MH bahwa persoalan korupsi ditinjau dari tiga unsur sistem hukum (Three Elements of Legal System) sesuai dengan konsep hukum yang di kemukakan oleh Lawrence Meir Friedman (1975, 1998) tentang Tiga Unsur Hukum (Three Elements of Legal System), yaitu:
- Unsur struktur hukum, termasuk didalamnya institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan;
- Unsur substansi hukum, adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu tremasuk juga produk yang di hasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka sususn juga mencakup living law ( hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law books;
- Unsur kultur hukum, adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bgaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.
Sedangkan menurut Prof. Dr Romli Atmasasmita, SH, LL.M bahwa korupsi ditinjau dari:
- Persoalan sosial, yaitu korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan;
- Persoalan psikologi sosial yaitu korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.
Oleh karena itu korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yaitu perbuatan manusia atau orang dengan tujuan menguntungkan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil serta perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat di kenakan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi sebagai extraordinary crimes terutama yang dilakukan oleh para penyelenggara negara baik pada pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah, khusunya pada pemerintah pusat tidak terlepas dari peranan para penyelengara negara itu sendiri dari tingkat pimpinan sampai dengan para pegawainya dalam melakukan pengeloaan keuangan daerah.
Keuangan daerah yang di maksud dalam pasal 1 angka 1 peraturan pemerintah No.105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelengaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka anggaran pendapatan dan belanja negara.
Asas yang berlaku secara universal atas pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 PP No.105 tahun 2000 adalah pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Khusus untuk keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam PP No.24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan anggota DPRD yang selanjutnya dirubah dengan PP. No.37 tahun 2005 Tentang perubahan atas PP No.24 tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Dalam praktek penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah sampai dengan saat ini masih terjadi para pimpinan/pejabat terkait pemerintah daerah terutama pimpinan dan anggota DPRD kota/kabupaten yang melanggar atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga mengakibatkan kerugian bagi keuangan daerah yang brindikasi tindak pindana korupsi.
Kasus-kasus Korupsi yang terjadi pada DPRD/Pimpinan kota/kabupaten antara lain dapat di identifikasi sebagai berikut:
- Pimpinan dan anggota DPRD dalam Tahun Anggaran 2015 menerima hadiah dan janji, yang diduga berasal dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) penerima suap disangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
- Bupati suap anggota DPRD agar meloloskan APBD Kabupaten Tanggamus tahun 2016 dalam kasus ini, anggota dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagai\mana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pimpinan dan anggota DPRD pada tahun 2016 telah secara sengaja dan melawan hukum, memasukkan pokok-pokok pikiran seolah-olah sebagai aspirasi masyarakat dalam APBD tahun anggaran 2016 tanpa melalui proses dan prosedur sebagaimana yang diatur dalam Permendagri nomor 52 Tahun 2016 tentang Pedoman Anggaran Pendapatan den Belanja Negara Daerah Tahun Anggaran 2016 melanggar ketentuan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pembahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terutama pasal 12 huruf (i) yang menyebutkan penyelenggara negara yang ditugasi melakukan pengawasan secara Iangsung atau tidak Iangsung ikut serta dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa.
- Walikota menerima Suap terkait dengan proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017 senilai Rp 5,26 miliar, pihak yang diduga penerima, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. pihak yang diduga pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayar (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 ju 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
- Anggota DPRD Kebumen tersangka suap, terkait pembahasan proyek di Dinas Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Kebumen pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBD-P) tahun 2016. disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pimpinan dan anggota DPRD Kota/kabupaten dalam melakukan perbuatan melawan hukum penyalahgunaan wewenang diatas antara lain dipengaruhi oleh 3 (tiga) yaitu:
- Moral, menyangkut moral atau budi pekerti pimpinan dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai legislatif sudah tidak adalagi yaitu hanya memikirkan untuk kepentingan diri sendiri dengan mendapatkan penghasilan yang sebesar-besarnya dari yang sudah ditetapkan seingga sudah tidak dapat membedakan budi pekerti pimpinan dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai legislatif sudah tidak ada lagi yaitu hanya memikirkan untuk kepentingan diri sendiri dengan mendapatkan penghasilan yang sebesar-besarnya dari yang sudah di tetapkan sehingga sudah tidak dapat membedakan budi pekerti yang baik dan buruh (moral insanity);
- Kerja sama, baik kerja sama internal yaitu kerja sama yang dilakukan anatara pimpinan dan anggota DPRD dan para pimpinan/pejabat terkait pemerintah daerah maupun kerja sama ekternal adalah kerja sama yang dilakukan antara pimpinan dan anggota DPRD, para pimpinan/pejabat terkait pemerintah daerah, oknum aparat penegak hukum, oknum aparat pengawas di lingkungan pemerintah daerah dan oknum pemeriksa (auditor) baik BPKP maupun BPKP-RI untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mulai dari penyusunan anggaran, penetapan sampai dengan pertanggungjawaban APBD. Kerja sama tersebut dapat diartikan sebagai permufakatan (samenspanning) yaitu dua orang atau lebih bersama-sama sepakat untuk melakukan kejahatan;
- Kekuasaan, oleh karena kekuasaan (power) yang dimiliki oleh pimpinan dan anggota legislatif sangat besar maka banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan pimpinan dan anggota DPRD tidak terungkap atau tidak di tindak lanjuti sehingga ada kesan di tutup-tutupi antara lain disebabkan mudahnya oknum aparat penegak hukum, aparat pengawas fungsional dan pemeriksa (auditor) disuap (passive omkoping).
- Upaya-upaya Pencegahan dan Pemberantasan korupsi secara luar biasa (extraordinary measures) dilingkungan Pemerintah Daerah.
Pencegahan dalam lapangan hukum pidana disebut Prevensi atau Preventie.
Pengertian Preventie dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
- Speciale Preventie, adalah pencegahan pengulangan yaitu agar si terhukum tidak lagi melakukan tindak pidana;
- General Preventie, apakah pencegahan yang di tujukan kepada rakyat umumnya agar mereka tidak melakukan tindak pidana.
Dengan berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah diatur secara tegas antara lain, yaitu :
- Meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap di ajukan ke pengadilan dan tetap pidana;
- Adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana;
- Pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian Negara;
- Memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
- Tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung;
- Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang;
- Perlindungan hukum dan pemberian penghargaan terhadap anggota masyarakat yang ikut berperan serta membantu dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Upaya-upaya Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana, khususnya pada Pemerintah Daerah tidak hanya cukup dilakukan melalui generale preventie diatas tetapi harus dilakukan secara luar biasa (extraordinary measures), yaitu:
- Pemahaman terhadap UU Anti Korupsi, adalah pemahaman bagi setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;
- Pengawasan/pemeriksaan secara terus menerus, adalah pengawasan oleh aparat pengawas fungsional Pemerintah Daerah yaitu Badan Pengawas Daerah (Bawasda) dan pemeriksaan oleh BPKP maupun BPK-RI atas pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilakukan secara terus menerus dan komprehensif;
- Koordinasi anatar aparat penegak hukum dan aparat pengawas/pemeriksa BPKP dan BPK-RI, koordinasi antara aparat penegak hukum dan aparat pengawas/ pemeriksa BPKP dan BPK-RI diperlukan agar penanganan tindak pidana korupsi dapat segera di tindaklanjuti dan diselesaikan sesuai ketentuan yang berlak;
- Peran serta masyarakat, adalah masyarakat ikut berpartisipasi langsung membantu mengawasi para penyelenggara negara dalam Pengelolaan Keuangan
- Strategi Pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintah daerah
Dari uraian diatas bahwa pelaku korupsi di lingkungan Pemerintah Daerah adalah para Pimpinan/pejabat terkait Pemerintah Daerah terutama Pimpinan dan Anggota DPRD Kota/Kabupaten yang keteladanan nya sudah tidak bisa menjadi contoh atau panutan lagi bagi anggota masyarakat daerah da korupsi itu sendiri merupakan penyakit masyarakat yang sudah kronis dan tidak dapat disembuhkan lagi maka strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi dilingkungan Pemerintah Daerah melalui 4 (empat) pendekatan, yaitu :
- Pendekatan Ketaqwaan; ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah pendekatan yang paling utama bagi setiap manusia untuk dapat membedakan perbuatan yang baik dan buruk dan menghindari perbuatan tercela;
- Pendekatan hukum; dalam pendekatan hukum ini berlaku asas hukum equality before the law bearti bahwa setiap orang sama kedudukannya didepan hukum sehingga setiap orang harus di perlakukan sama. Jadi terhadap siapapun juga yang melakukan perbuatan menyimpang dari hukum positif pidana dan norma-norma hukum yang berlaku harus dihukum seberat-beratnya tanpa pandang bulu;
- Pendekatan pemerataan; pendekatan pemerataan ini berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial atau gap antara si kaya dan si miskin;
- Pendekatan budaya; yang dimaksud pendekatan budaya adalah menumbuhkan budaya jujur, budaya mesndahulukan kepentingan Negara, diatas kepentingan pribadi serta budaya malu untuk berbuat yang tidak baik bagi setiap penyelenggara Negara.***