Jakarta: Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Usman Kansong, mengatakan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tengah bermain drama di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini terlihat dari rangkaian keterangan saksi yang diragukan kredibilitasnya.
“Semua yang disampaikan (di MK) drama, memang sebelah sana senang sekali buat drama. Saya kira ini kita sebut dengan victim games, seolah-olah menjadi korban,” kata Usman dalam program Prime Time News Metro TV, Minggu, 23 Juni 2019.
Usman mencontohkan surat permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui majelis hakim MK. Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan kerangka perlindungan kepada saksi dan korban terkait proses hukum perkara pidana.
UU tersebut, kata Usman, tidak mengatur perlindungan saksi yang berkaitan dengan proses hukum perdata. Hal ini meliputi kasus-kasus di MK maupun pengadilan tata usaha negara (PTUN).
“Drama yang ditampilan oleh Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto (BW), yang minta perlindungan ke LPSK. Padahal para pengacara kuasa hukum di bidang hukum tahu apa tugas LPSK adalah melindungi saksi dalam hukum pidana, bukan dalam konteks tata hukum negara,” ujar Usman.
Dia juga mengkritisi kesaksian ahli teknologi informasi (TI) Hermansyah yang diperkenalkan sebagai pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat. Namun, Hermansyah rupanya hanya alumni ITB.
Dalam keterangannya, Hermansyah mengaku mendapat ancaman dan ditusuk pada 2017. Namun, Usman menilai peristiwa itu tidak berkaitan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Selain itu, TKN menyindir keterangan mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu. Keterangannya dianggap lebih condong sebagai saksi ahli, bukan saksi fakta.
Usman juga meragukan saksi Beti Kristiana. Beti mengaku menemukan amplop surat suara yang diduga berisi C1 di halaman Kantor Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kesaksiannya dibantah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membawa amplop asli ke MK.
“Saya ingin mengatakan bahwa kesaksian maupun saksinya banyak juga invalid. Misal dari sisi personal, status ataupun kredibilitas sejumlah saksi,” tegas Usman.
Atas dasar itu, TKN berharap majelis hakim konstitusi menolak seluruh petitum yang dimohonkan pemohon. Majelis hakim diyakini mampu memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden seadil-adilnya pada Jumat, 28 Juni 2019.
“Secara umum kami meminta melalui kuasa hukum menolak (petitum) seluruhnya. Tinggal hakim yang menentukan, dia akan bermusyawarah mungkin ada yang direrima sebagian atau hanya sebagai bentuk rekomendasi saja,” pungkas Usman. (medcom.id)