TARAKAN, MK – Keberadaan Heart of Borneo (HoB) atau Jantung Kalimantan yang 5 persennya berada di wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), patut mendapat perhatian dan penjagaan dari dunia internasional. Tak hanya, tiga negara yang wilayah hutannya dideskripsikan sebagai HoB tersebut, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Ini disampaikan Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie saat menghadiri dan menjadi pembicara sekaligus membuka The 11th Heart of Borneo Trilateral Meeting dengan tema “Promoting Ecotourism in HoB for Sustainable Development : Visit The Heart of Borneo” di Gedung Serbaguna Rektorat Universitas Borneo Tarakan, Rabu (11/10).
Dalam pertemuan tahunan ini, hadir delegasi dari tiga negara, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Adapun pembicara dari delegasi Indonesia, adalah Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie sekaligus membuka acara tersebut. Wakil Indonesia lainnya yang juga menjadi pembicara, adalah Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) Antung Deddy Ardiansyah dan Deputi Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Monthy Giriana. Ditambah, pembicara dari Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dalam sambutannya, Gubernur menyebutkan, tantangan terbesar terhadap upaya pelestarian lingkungan saat ini, adalah laju deforestasi lahan dan hutan akibat ilegal logging dan lainnya. “Pada 2017, sekitar 22 juta manusia di dunia terancam kelaparan akibat masalah lingkungan, politik dan lainnya. Dari itu, kita perlu mempelajari dan belajar atas masalah itu,” jelas Gubernur.
Pun demikian, masyarakat di ketiga negara wilayah HoB patut bersyukur telah hidup di Bumi Kalimantan. Dari itu, pemerintah dan rakyat dari tiga negara bertetangga ini, wajib menjaga Jantung Kalimantan yang tersisa itu. “Melihat peran pentingnya, sedianya tak hanya masyarakat di Kalimantan yang patut menjaganya tapi juga dunia harus menjaganya,” papar Gubernur.
HoB sendiri memiliki fungsi, salah satunya sebagai stabilisator keseimbangan alam di dunia, suplai utama keseimbangan oksigen, dan lainnya. Menilik hal itu, Gubernur menegaskan sekali lagi bahwa pemeliharaan dan penjagaan terhadap kelestarian HoB merupakan tanggungjawab banyak pihak, utamanya Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. “Jangan sampai, tingkah saling intip ‘kekuatan’ hingga pencurian keanekaragaman hayati yanga ada di HoB masih berlangsung,” urai Gubernur.
Pengeksploitasian SDA di HoB diakui Gubernur masih terjadi hingga saat ini. “Kaltara sendiri, terhadap keberadaan HoB di wilayahnya, telah memulai langkah pemanfaatan dan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Di antaranya, memanfaatkan SDA sungainya sebagai sumber energi listrik. Manfestasinya, salah satunya dengan rencana pengembangan PLTA Kayan 9 ribu Megawatt (MW),” ulas Gubernur.
Dijabarkan Irianto, tak pelak lagi untuk menjaga kelestarian HoB dibutuhkan sosok yang luar biasa untuk mengelola lingkungan tersebut. Bukan sosok yang hanya bisa beretorika, namun sederhana dalam ucapan dengan tindakan yang telah teruji dan terbukti. “Sejauh ini, menurut pengetahuan saya, ada 5 agreement (kesepakatan) antar negara yang sudah diteken di sekitar HoB itu. Yakni, agreement tentang lintas batas, pengelolaan kawasan lindung, pengelolaan SDA berkelanjutan, pengembangan ekowisata dan peningkatan kapasitas SDM (Sumber Daya Manusia). Tapi, semua dalam aplikasinya sangat minim realisasi,” urai Irianto.
Kesepakatan lintas batas misalnya, banyak pasal yang sudah dilanggar. Diantaranya, masih berlangsungnya pencurian SDA dan lainnya. Lalu, kesepakatan pengelolaan kawasan lindung, realisasinya masih belum tepat, dan tak jarang nihil. “Untuk pengelolaan SDA berkelanjutan, ini bertahun-tahun disebutkan dalam sejumlah pertemuan. Tapi nyaris tak ada realisasinya, karena hanya sebatas kesepakatan di atas kertas. Begitu pula dengan agreement pengembangan ekowisata, yang mengiring kita hingga terjebak dalam diskusi tanpa langkah kongkrit. Termasuk agreement peningkatan kapasitas SDM, yang sudah banyak dilaksanakan tapi terkadang penempatan orangnya keliru. Baik itu penempatan di pemerintahan maupun non pemerintahan,” jelas Irianto.
Di penghujung pertemuan itu, Irianto menyampaikan permohonan maaf kepada hadirin karena sempat menggunakan kalimat yang disebutnya tidak diplomatis dalam kaitannya dengan hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia dan Brunei Darussalam. “Saya mohon maaf kepada seluruh delegasi yang hadir, karena bahasa saya yang tidak diplomatis. Karena saya anggap ini sudah parah sekali kondisinya. Untuk itu, saran saya, Indonesia atau Malaysia juga Brunei, harus merujuk dan belajar dari Negara Tiongkok yang melaju cepat. Termasuk dalam upaya pemeliharaan kelestarian hutan dan keberlanjutan ekosistemnya,” tuntasnya. (humas)